Kujang, senjata tradisional Jawa
Barat yang awalnya dijadikan alat berladang. (Ilham Krismansyah)
Menyinggahi sanggar kerja Kujang
Pajajaran di sudut timur Bogor, saya merasakan hawa panas luar biasa. Asalnya
dari bara arang bambu bersuhu 800 -1.200 derajat Celcius di kejauhan, yang
digunakan sang empu kujang Wahyu Affandi Suradinata melebur besi dan baja untuk
dijadikan kujang, senjata tajam tradisional khas Tanah Pasundan.
Kujang berasal dari kudihyang
(kudi: senjata berkekuatan gaib, hyang: dewa). Karya seni tinggi
ini dianggap teureuh atau trah, jati diri urang (orang) Sunda.
Menurut naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesia (1518), semula kujang
digunakan sebagai alat berladang. Hingga kini, masyarakat Baduy di Banten dan
Pancer Pangawinan di Sukabumi masih menggunakan kujang untuk berladang.
Keahlian Wahyu membuat kujang
didapat secara otodidak setelah secara tak sengaja menemukan kujang tertancap
di batu dekat muara sungai di Sukawayana, Cisolok, pada 1993. Lalu, mantan guru
STM (kini SMK Teknologi) ini berkonsultasi dengan budayawan Anis Jatisunda, dan
beroleh keterangan bahwa kujang itu pernah menjadi milik bupati Pajajaran,
kerajaan besar Sunda.
Setelah melebur besi dan baja, Wahyu
menempanya menjadi kujang berdasarkan contoh yang ada. Hasil karya yang semula
dibagikan secara cuma-cuma kepada kawan-kawan terdekat ternyata menarik pesanan
serius dari kolektor kujang. Akhirnya Wahyu pun memutuskan penuh menjadi guru
teupa alias pandai besi kujang.
Wahyu Affandi Suradinata menjaga
warisan leluhur Tanah Pasundan dengan menjadi empu pembuat kujang. (Ilham
Krismansyah)
Sembari mengutip keterangan yang
diberikan Anis, Wahyu melanjutkan, ”Kujang sudah ada sejak abad sembilan hingga
12 sebagaimana tertulis dalam naskah kuno Pantun Bogor.
Kujang berkembang menjadi senjata
pralambang pusaka—keagungan dan pelindung, pakarang—untuk berperang, pangarak—untuk
upacara, dan pamangkas—untuk berladang.”
Berdasarkan bentuk bilah, ada yang
disebut kujang jago (mirip ayam jantan), ciung (burung ciung), kuntul
(bangau), badak, naga, bangkong (kodok), dan tokoh wayang perempuan perlambang
kesuburan. Sekilas, siluet kujang mengingatkan pada kuda laut.
Wahyu membuat sendiri kowak
atau sarangka, sarung kujang yang terbuat dari kayu sonokeling dari
seputar Gunung Sunda, Sukabumi. Kujang dan sarung digarap dalam sepuluh hari.
Selain kujang dalam bentuk aslinya, Wahyu pun melayani pesanan membuat hiasan
dinding kujang satu sisi, plakat, dan cendera mata, seperti pin dan gantungan
kunci.
(CHRISTANTIOWATI) dikutip di : http://nationalgeographic.co.id
0 komentar:
Posting Komentar